PEMBELAJARAN BAHASA UNTUK ANAK TUNARUNGU WICARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dengan
menggunakan bahasa, manusia dapat berhubungan dengan alam sekitarnya, terutama
dengan manusia. Melalui bahasa manusia dapat menguasai alam, sehingga manusia
dapat mengubah alam sesuai dengan kebutuhannya. Bahasa merupakan alat untuk
merumuskan apa yang ada dalam pikirannya, apa yang dirasakan, dan apa yang
dikehendakinya. Apa yang dipikirkan itu dapat disampaikan kepada orang lain
melalui bahasa sehingga dapat diciptakan kerja sama antar sesama manusia.
Dengan bahasa pulalah manusia dapat mengatur kegiatannya yang berhubungan
dengan kehidupan kemasyarakatannya.
Pada
tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari
perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang
ringan atau parsial saja dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan
memahami bahasa. Bagi anak-anak, pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah
alat yang sangat penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial.
Anak belajar untuk berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Jika
mereka memiliki gangguan pendengaran yang tidak diketahui sebelumnya dan tidak
ditangani, informasi untuk perkembangan bahasa dari lingkungan mereka akan
terbuang sia-sia. Hal ini akan mengakibatkan lambatnya perkembangan kemampuan
verbal serta menimbulkan masalah soaial dan akademik. Hal inilah yang mendasari
kami menyusun makalah ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimana
pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu wicara?
1.3 Tujuan
Mengetahui
seperti bagaimana pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu wicara.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1
Pengertian Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi yang wajib
dimiliki oleh orang yang melakukan hubungan sosial dengan lainnnya. Dengan
adanya bahasa segala sesuatu yang ingin kita utarakan dapat tersampaikan dengan
baik. Bahasa sendiri merupakan alat pemersatu bangsa. Alat ini dapat digunakan
untuk mempermudah kita dalam komunikasi satu sama lain yang masing-masing
diantaranya memiliki budaya yang berbeda. Dalam hidup, kita harus berkomunkasi
untuk terus menjaga komunikasi karena komunikasi adalah dasar atau langkah awal
dalam manusia bersosialisasi untuk dapat tetap hidup. Beberapa ahli mengemukakan definisi bahasa yang
berbeda-beda, yaitu :
·
Menurut Keraf dalam Smarapradhipa
(2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan
bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi
yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
·
Menurut Owen dalam Stiawan (2006:1),
menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared
combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols
(bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau
sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang
dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
·
Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua
definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang
kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat
lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
Jadi dapat disimpulkan dari semua definisi menurut
para ahli bahasa adalah suatu system yang sistematis atau alat komunikasi untuk
saling berinteraksi antara individu satu dengan yang lainnya dengan menggunakan
kode dan lambang yang dikombinasikan symbol-simbol yang diatur oleh ketentuan.
2.2 Pengertian
Tunarungu
Banyak istilah yang sudah kita kenal
untuk anak yang mengalami kelainan pendengaran, misalnya dengan istilah :
“Tuli, bisu, tunawicara, cacat dengar, kurang dengar, ataupun tunarungu”.
Istilah-istilah dan pandangan tersebut tidak semuanya benar, sebab
pengertiannya masih kabur dan tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Istilah lain yang sekarang lazim digunakan dalam dunia pendidikan khususnya
pendidikan luar biasa adalah tunarungu.
Istilah tunarungu diambil dari kata
“Tuna” dan “Rungu”. Tuna artinya kurang dan Rungu artinya pendengaran. Orang
atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang
mampu mendengar suara.
Tunarungu adalah seseorang yang
kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa
melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar.
Sedangkan seseorang yang kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan
menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan
keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.
Ada Beberapa
ahli mengemukakan definisi tunarungu yang berbeda-beda, yaitu :
·
Menurut Pernamari Somad dan Tati
Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa “Tunarungu adalah seseorang yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau
seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh
alat pendenganran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya
dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara
kompleks”.
·
Menurut
Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: “Anak tunarungu adalah anak yang
kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran
demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran,
suara dan bahasa seolah-olah hilang”.
Jadi, dapat disimpulkan
bahwa anak penyandang tunarungu adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk
mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk
menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari
2.3 Pengertian
Tunawicara
Tunawicara merupakan
individu yang mengalami kesulitan berbicara. Hal ini dapat disebabkan oleh
kurang atau tidak berfungsinya alat-alat bicara, seperti rongga mulut, lidah,
langit-langit dan pita suara. Selain itu, kurang atau tidak berfungsinya organ
pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan pada system saraf dan
struktur otot, serta ktidakmampuan dalam control gerak juga dapat mengakibatkan
keterbatasan dalam berbicara. DI antara individu yang mengalami kesulitan
berbicara ada yang sama sekali tidak dapat berbicara, dapat mengeluarkan bunyi
tetapi tidak mengucapkan kata-kata dan ada yang dapat berbicara tetapi tidak
jelas.
Beberapa ahli
mengemukakan mengenai definisi tunawicara :
·
Menurut Heri
Purwanto dalam buku Ortopedagogik Umum (1998) tuna
wicara adalah apabila seseorang mengalami kelainan baik dalam pengucapan
(artikulasi) bahasa maupun suaranya dari bicara normal, sehingga menimbulkan
kesulitan dalam berkomunikasi lisan dalam lingkungan.
·
Menurut Menurut
Frieda Mangunsong,dkk dalam Psikologi dan Pendidikan Anak Luar
Biasa, tuna wicara atau kelainan bicara adalah hambatan dalam komunikasi
verbal yang efektif. Menurut
·
Dr. Muljono Abdurrachman dan Drs. Sudjadi S
dalam Pendidikan Luar Biasa Umum (1994) gangguan wicara atau
tunawicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari
bunyi bicara, dan atau kelancaran berbicara.
Jadi
tunawicara adalah seseorang yang memiliki hambatan dari suaranya , artikulasi
dari bunyi bicara atau kelancaran berbicara sehingga menimbulkan komunikasi
lisan di sekitarnya atau lingkungan.
BAB
III
PEMBAHASAN
Metode
dan Pendekatan Pengeajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu Perdebatan tentang cara
terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987).
Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang
berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak
(Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar
individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang
tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
3.1 Metode
Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat
tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca
ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi
ketiga cara tersebut.
1) Belajar
Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca”
ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran
yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian
dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut
sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak
sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya.
Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa
prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh
pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang
tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang
bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada
tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa
latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa
harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994). Kelemahan sistem
baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat
ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca
ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok
konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan
kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat
berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak
(Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di
Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai
respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan
tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari
pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan
bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan
menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke
sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah
dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan
segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa.
Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan
menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989
dalam Caldwell, 1997).
2) Belajar
Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu
tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat
bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis
ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear
implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari
dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang
dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui
pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga
bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara
elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan
pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf
pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik,
jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan
klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang
lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini
tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat
memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang
menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang
dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut
mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal
dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu
tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould
yang tidak cocok.
3) Belajar
Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan
cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas,
berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara
nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual
dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa
kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian
penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk
masyarakat yang eksklusif.
3.2 Metode Pendekatan
dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu
harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang
optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu
secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
1) Pendekatan
Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh
dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang
mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah
auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang
semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam
lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan
atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar
mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal
merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan
dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip
auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg,
1997).
Prinsip-prinsip
praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
- Berusaha
sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di
klinik perawatan bayi.
- Memberikan
perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak
tunarungu sedini mungkin.
- Membantu
anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang
tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang
hari.
- Membantu
anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan
oleh anak yang berpendengaran normal.
- Menggunakan
orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi
lisan.
- Berusaha
membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system)
sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa
yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
- Memahami
bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi,
pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk
membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
- Mengamati
dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
- Mengubah
program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan
pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran
normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori
verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam
Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam
lingkungan belajar dan lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka
bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan
pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat
dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya
setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson
& Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
2) Pendekatan
Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar
bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun
ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini
akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan
dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah
dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen
pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya
mencakup:
- Keterlibatan
orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran
aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
- Upaya
intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi
partner komunikasi yang efektif.
- Upaya-upaya
di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan
kelas.
- Amplifikasi
yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak
efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang
memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih
dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang
mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk
sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan
mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi,
identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan
mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi
ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam
kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang
saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap
suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan
keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa
dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada
diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi
anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah
pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus
bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada
keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa
anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang
pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan,
dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa
88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki
kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi.
Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun,
yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak
tunarungu di Amerika Serikat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahasa
adalah alat komunikasi yang wajib dimiliki oleh orang yang melakukan hubungan
sosial dengan lainnnya. Dengan adanya bahasa segala sesuatu yang ingin kita
utarakan dapat tersampaikan dengan baik. Bahasa sendiri merupakan alat
pemersatu bangsa. Alat ini dapat digunakan untuk mempermudah kita dalam
komunikasi satu sama lain yang masing-masing diantaranya memiliki budaya yang
berbeda. Pengajaran
bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila
kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal.
Anak tunarungu
adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses
informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat
bantu mendengar. Seseorang yang kurang dengar adalah seseorang yang biasanya
dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan
keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran. Tunawicara
adalah seseorang yang memiliki hambatan dari suaranya , artikulasi dari bunyi
bicara atau kelancaran berbicara sehingga menimbulkan komunikasi lisan di
sekitarnya atau lingkungan.
Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu, antara lain :
·
Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran
(Speechreading)
·
Belajar Bahasa melalui Pendengaran
·
Belajar Bahasa Secara Manual
Metode Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu, antara
lain :
·
Pendekatan
Auditori Verbal
·
Pendekatan
Auditori Oral
B. Saran
Kita sebagai anak pada umumnya harus
dapat memahami ataupun mengerti anak berkebutuhan khusus (ABK), misalnya
mempelajari bahasa anak berkebutuhan khusus seperti.
Anak
tunarungu wicara dapat dilatih seperti manusia normal pada umumnya, namun
mereka hanya sulit berbicara. Tunarungu wicara juga memerlukan pendidikan yang
dapat mendukung mereka serta menghilangkan hambatan – hambatan pada diri mereka
seperti sekolah- sekolah umum dan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://www.dosenpendidikan.com/50-pengertian-bahasa-menurut-para-ahli/
·
http://kwintal.blogspot.co.id/2011/05/12-pengertian-tunarungu-dan-tunawicara.html
·
http://laelasyafa.blogspot.co.id/2016/05/anak-dengan-gangguan-bicara-dan-bahasa_3.html
·
https://psibkusd.wordpress.com/about/b-tunarungu/metode-pengajaran-bahasa-bagi-anak-tunarung/
Komentar
Posting Komentar